BANDUNG – Pelita Jagat News. Kebijakan penambahan jumlah rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri dari maksimal 36 menjadi 50 siswa per kelas terus memicu perdebatan, khususnya dari kalangan sekolah swasta. Namun, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat menegaskan, kebijakan ini merupakan bagian dari langkah afirmatif untuk mencegah anak-anak dari kelompok rentan putus sekolah, bukan untuk menggerus eksistensi sekolah swasta.
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Purwanto, menyatakan kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah. Tujuannya jelas: menyelamatkan anak-anak yang berisiko tinggi tidak melanjutkan pendidikan karena faktor ekonomi, bencana, atau persoalan administrasi kependudukan.
“Semangatnya adalah mencegah anak-anak yang dikhawatirkan tidak sekolah karena persoalan geografis, afirmatif, bencana, atau karena anak yatim miskin yang bermasalah administrasi kependudukannya. Kepgub ini untuk menolong itu,” jelas Purwanto, Selasa (8/7/2025).
Purwanto mencontohkan, masih banyak ditemukan kasus anak-anak dari keluarga bercerai atau miskin yang tinggal di dekat sekolah negeri, namun tidak bisa diterima karena dokumen kependudukan mereka berada di luar wilayah.
“Udah miskin, nggak punya bapak, administrasi kependudukannya nggak ada. Hal-hal seperti ini juga harus kita antisipasi,” ujarnya.
Ia menegaskan, kebijakan penambahan rombel tidak diberlakukan merata, namun selektif sesuai kebutuhan wilayah, terutama di daerah padat penduduk dan dekat dengan pemukiman Keluarga Ekonomi Tidak Mampu (KETM).
“Ada sekitar 61 ribu masyarakat yang sudah masuk dalam data KETM. Ini yang harus kami akomodasi,” tambahnya.
Menanggapi kekhawatiran dari sekolah swasta, Purwanto menyebut bahwa keberadaan sekolah swasta tetap dibutuhkan. Bahkan dari total 700 ribu lulusan jenjang sebelumnya, sekitar 400 ribu anak masih belum tertampung di sekolah negeri, meskipun rombel telah ditambah.
“Artinya, sekolah swasta tetap memiliki peluang besar menampung siswa. Bahkan, pilihan sekolah swasta tetap terbuka untuk masyarakat,” kata dia.
Namun, Purwanto juga mengingatkan bahwa jika siswa dari keluarga miskin masuk ke sekolah swasta, perlu ada kesepakatan di awal agar tidak terjadi putus sekolah di tengah jalan karena persoalan biaya.
Terkait kapasitas maksimal kelas yang mencapai 50 siswa, Purwanto menegaskan bahwa angka tersebut bukan batas mutlak. Ia menyebut, jumlah siswa per kelas akan disesuaikan dengan kondisi sekolah dan kapasitas ruang belajar.
“50 itu bukan angka mati. Bisa 37, bisa 45, bisa 48, tergantung kebutuhan dan kapasitas. Rata-rata ruang kelas SMA itu ukurannya 8×9 meter. Kepala sekolah lebih tahu kapasitas idealnya,” jelasnya.
Sebagai solusi jangka panjang, Pemprov Jabar menargetkan pembangunan 661 ruang kelas baru (RKB) dan 15 unit sekolah baru (USB) untuk SMA dan SMK guna mengurangi kepadatan rombel serta menormalkan kembali jumlah siswa per kelas menjadi 36.
“Kalau sekarang 50, nanti akan ditambah ruang kelas di situ. Jadi bisa kembali normal ke angka 36 kalau sudah ditambah,” ungkap Purwanto.
Ia menyebutkan, total anggaran yang disiapkan untuk pembangunan tersebut, termasuk mebel dan toilet, mencapai Rp300 miliar.
“Kalau di APBD perubahan ini belum beres, maka RKB akan ditambahkan pada APBD murni tahun 2026,” tegasnya.
Dengan pembangunan ini, siswa yang saat ini berada dalam kelas dengan jumlah 50 orang bisa dipindahkan ke kelas baru sebelum lulus, sehingga proses pembelajaran tetap berjalan optimal.
Melalui kebijakan ini, Dinas Pendidikan Jawa Barat menegaskan bahwa hak pendidikan anak adalah prioritas utama, khususnya bagi mereka yang berasal dari latar belakang rentan. Dengan pendekatan selektif, penambahan rombel bukan hanya menjadi solusi sementara, tapi juga bentuk kepedulian terhadap kesetaraan akses pendidikan. Pemerintah pun menjamin bahwa keberadaan sekolah swasta tidak tergeser, melainkan tetap menjadi mitra strategis dalam membangun masa depan pendidikan di Jawa Barat. (Red)