Cianjur – Pelita Jagat News, 8 Juli 2025. Sejumlah orang tua siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Cianjur menyuarakan kekecewaan mereka atas kebijakan sekolah yang meminta “sumbangan sukarela” dengan nominal yang telah ditentukan. Permintaan ini dianggap bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menegaskan larangan pungutan di sekolah negeri, sebagaimana diungkap langsung oleh Gubernur Jawa Barat dalam berbagai kesempatan.
Keluhan dari para orang tua mencuat pasca rapat antara pihak sekolah, komite, dan wali murid yang berlangsung pada 3 Juli 2025. Dalam pertemuan tersebut, pihak sekolah menyampaikan adanya kebutuhan dana tambahan untuk mendukung berbagai program madrasah. Meski disebut “sukarela”, pihak sekolah justru menyebutkan nominal sumbangan, yaitu Rp3 juta, Rp2,8 juta, dan Rp2,5 juta, yang disesuaikan dengan pilihan program partisipasi orang tua.

“Saya sangat keberatan dengan permintaan iuran itu. Katanya sukarela, tapi kami harus isi surat pernyataan kesediaan bayar yang formatnya sudah disediakan oleh sekolah. Kalau memang sukarela, kenapa harus pakai surat dan ada patokan angka segala?” ujar salah satu orang tua siswa kepada wartawan, dengan nada kecewa.
Keluhan ini tidak hanya disampaikan secara langsung, tetapi juga ramai diperbincangkan di grup WhatsApp orang tua siswa, yang turut diikuti oleh beberapa guru dan perwakilan sekolah. Ungkapan keberatan terus bermunculan, terutama karena permintaan ini dinilai membebani orang tua dan tidak sesuai dengan semangat pendidikan gratis di sekolah negeri.
Menanggapi sorotan tersebut, pihak Humas MAN 1 Cianjur merilis pernyataan resmi melalui grup pesan, menjelaskan bahwa permintaan sumbangan dilakukan karena dana operasional sekolah dari BOS dan Bantuan Pemerintah Provinsi (BPMU) tidak mencukupi untuk menjalankan seluruh program madrasah.
“Jika ingin mendukung seluruh program yang diajukan, maka kisarannya antara Rp3 juta, Rp2,8 juta, dan Rp2,5 juta. Tapi sifatnya tetap sukarela,” tulis pihak Humas MAN 1 Cianjur.
Pihak sekolah juga membantah adanya pungutan wajib dalam bentuk Uang Dana Tahunan (UDT) sebesar Rp2,5 juta seperti yang santer diberitakan. Menurut mereka, tidak ada kesimpulan dalam rapat yang menyatakan kewajiban membayar UDT, dan partisipasi orang tua bersifat tidak memaksa.
Meskipun pernyataan resmi menyebut bahwa sumbangan bersifat sukarela, banyak orang tua justru menilai praktik ini sebagai bentuk tekanan terselubung. Mereka mempertanyakan alasan di balik penyampaian nominal secara spesifik dan kewajiban menandatangani surat kesediaan membayar, yang formatnya telah disiapkan oleh pihak sekolah.
“Kami diminta tanda tangan surat kesediaan membayar, itu sama saja memaksa secara halus. Ini sekolah negeri, bukan swasta,” ucap seorang wali murid lainnya yang enggan disebut namanya.
Praktik semacam ini kembali membuka diskusi publik soal transparansi pengelolaan dana di sekolah negeri dan kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah daerah, khususnya larangan pungutan yang bisa memberatkan siswa. Dalam beberapa waktu terakhir, Gubernur Jawa Barat telah menegaskan bahwa seluruh sekolah negeri harus bebas dari pungutan, sebagai bentuk komitmen terhadap akses pendidikan yang adil dan merata.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sejumlah sekolah masih menggunakan celah dalam bentuk “sumbangan sukarela” yang pada praktiknya tetap menimbulkan tekanan kepada orang tua.
Kasus di MAN 1 Cianjur ini menjadi contoh penting bagaimana pelaksanaan kebijakan pendidikan gratis masih menghadapi tantangan serius dalam hal pelaksanaan di tingkat sekolah. Pemerintah daerah dan instansi terkait pun diharapkan turun tangan meninjau ulang praktik seperti ini demi menjaga integritas dunia pendidikan dan hak siswa untuk memperoleh pendidikan tanpa hambatan biaya. (k)