Headlines

Revisi KUHAP Jadi Sorotan: Polemik Penyidik Utama, Penangkapan, hingga Draf Tandingan dari Masyarakat Sipil

1412415 720

Jakarta – Pelita Jagat News. Minggu, 13 Juli 2025. Pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menjadi sorotan luas publik, terutama dari kalangan masyarakat sipil. Di balik proses yang diklaim telah menyerap aspirasi masyarakat, sejumlah pasal justru dinilai kontroversial dan berpotensi melemahkan perlindungan hak asasi manusia.

Komisi III DPR RI telah menginventarisasi 1.676 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam revisi RUU KUHAP. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.091 pasal dipertahankan, 68 pasal diubah, 91 pasal dihapus, 131 pasal baru ditambahkan, dan 256 pasal mengalami perubahan redaksional.

Salah satu poin yang menuai perdebatan adalah penetapan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai penyidik utama dalam semua tindak pidana. Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menegaskan bahwa hal tersebut hanya merupakan penegasan redaksional, bukan bentuk penguatan kewenangan.

“Tidak benar Polri menjadi lebih powerful,” ujarnya dalam konferensi pers pada Jumat, 11 Juli 2025. Ia justru menyebut revisi kali ini mengakomodasi lembaga penyidik lain seperti KPK dan Kejaksaan.

Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Maria Silvy, dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Menurutnya, penetapan Polri sebagai penyidik utama berpotensi mempengaruhi mekanisme pembuktian dan membahayakan sistem hukum acara pidana di Indonesia.

Komisi III DPR juga menyepakati bahwa batas maksimum penangkapan adalah 1×24 jam, sesuai dengan KUHAP lama. Hal ini sekaligus membatalkan usulan awal dalam DIM yang sempat memperpanjang masa penangkapan hingga 7×24 jam.

“Penangkapan dilakukan paling lama satu hari, kecuali undang-undang khusus seperti UU Terorisme,” jelas Habiburokhman.

Pasal 293 ayat 3 yang membatasi Mahkamah Agung agar tidak menjatuhkan hukuman lebih berat dari pengadilan sebelumnya juga dihapus. Dengan demikian, Mahkamah Agung dapat memutus perkara sesuai keyakinannya, tanpa terikat oleh vonis pengadilan tingkat sebelumnya. Ini menandakan kewenangan penuh MA dalam proses kasasi tetap dijaga.

Ketentuan larangan siaran langsung persidangan yang semula tertuang dalam Pasal 253 RUU KUHAP resmi dihapus. DPR dan Pemerintah mengambil langkah ini setelah mendengarkan masukan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Sebagai bentuk protes terhadap substansi RUU KUHAP versi DPR dan pemerintah, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP meluncurkan draf tandingan. Draf ini disusun oleh lebih dari 10 organisasi, seperti ICJR, YLBHI, PBHI, Amnesty International Indonesia, LBH Jakarta, LBH Pers, dan lainnya.

Koalisi menilai revisi KUHAP cenderung otoriter, memperluas kewenangan aparat tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, serta mengecilkan partisipasi warga negara. Draf tandingan setebal 225 halaman ini menekankan perlindungan terhadap tersangka, korban, dan saksi; pembentukan Hakim Komisaris independen; dan transparansi sistem peradilan pidana.

Peneliti Kontras, Hans Giovanny Yosua, menyebut pengawasan ketat dari pengadilan menjadi krusial untuk mencegah praktik penyiksaan atau kekerasan oleh aparat dalam proses penyidikan. “Supaya tidak terjadi pelanggaran hak warga negara,” tegasnya.

Namun, Habiburokhman menanggapi santai peluncuran draf tandingan ini. “Silakan, masukkan saja. Kalau mau bikin undang-undang, jadi anggota DPR,” ucapnya. Ia juga menepis tuduhan manipulasi partisipasi publik, dan menyebut pihaknya telah menerima masukan dari 53 kelompok masyarakat.

Salah satu persoalan krusial lainnya adalah soal izin hakim atas tindakan upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan. Peneliti ICJR, Iftitah Sari, menilai substansi DIM versi pemerintah tak banyak berubah dari versi DPR. Bahkan, pasal-pasal yang menyebut perlunya izin hakim tetap memberi ruang pengecualian dalam keadaan mendesak berdasarkan penilaian subjektif penyidik.

“Ini justru melegitimasi pelanggaran HAM yang selama ini terjadi dalam praktik penegakan hukum,” ujar Iftitah dalam diskusi di kantor Tempo, Kamis, 3 Juli 2025.

Koalisi masyarakat sipil mendesak agar proses legislasi RUU KUHAP dilakukan secara terbuka dan demokratis. Mereka menekankan pentingnya meaningful participation, bukan sekadar formalitas atau manipulasi keterlibatan publik. Dalam pernyataan bersama, koalisi menyatakan bahwa proses revisi KUHAP saat ini mirip dengan pembentukan sejumlah UU kontroversial sebelumnya seperti revisi UU KPK, UU Minerba, UU TNI, dan UU Cipta Kerja.

“Legislasi tak lagi bertujuan untuk melindungi rakyat, namun menjadi alat penguasa,” tegas mereka. (MP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *